Cari Blog Ini

Rabu, 07 Januari 2009

SAMPLE TEST IRIDO


kawan abadi aquaculture

PENYAKIT IKAN

Definisi penyakit dalam patologi ikan


Penyakit didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi, dan atau fungsi yang mengalami perubahan dari kondisi normal karena beberapa penyebab, dan terbagi atas dua kelompok yaitu penyebab dari dalam (internal) dan luar (eksternal). Penyakit ikan umumnya adalah eksternal. Penyakit internal : genetik, sekresi internal, imunodefisiensi, saraf dan metabolik. Penyakit eksternal :

1).
Non patogen

  • Penyakit lingkungan :suhu dan kualitas air lainnya (pH, kelarutan gas, zat beracun).
  • Penyakit nutrisi : kekurangan nutrisi, gejala keracunan bahan pakan.

2). Patogen; bersifat parasit dan terdiri atas empat kelompok yaitu :

  • Penyakit viral
  • Penyakit jamur
  • Penyakit bakterial

Tabel 1. Karakteristik setiap kelompok patogen

Karakteristik

Virus

Bakteri

Jamur

Parasit

Ukuran (Penyaring 0,45µm)

25-350 nm (dapat
melalui penyaring)

0,6-30 µm (tidak
dapat melalui
penyaring)

Besar dari beberapa mikron (tidak dapat melalui penyaring)

Besar dari ebberapa mikron (tidak dapat melalui penyaring)

Reproduksi

Transkripsi/reproduksi
pada inang DNA atau
RNA

Segmentasi

Produksi spora

Produksi telur/spora

Kultur

Pada sel

Pada media

Pada media

Pada umumnya membutuhkan inang hidup

Deteksi

- PCR
- Kultur sel
- Secara imunologi
- Mikroskop elektron

- Kultur pada agar
- Mikroskop
- Secara imunologi

- Kultur pada agar
- Mikroskop

Mikroskop

Identifikasi

- Secara genetik
- Secara morfologi

- Secara biokimia
- Secara morfologi
- Secara genetik

Secara morfologi

Secara morfologi

Karakteristik penyakit infeksi pada ikan
Ikan merupakan salah satu hewan air yang selalu bersentuhan dengan lingkungan perairan sehingga mudah terinfeksi patogen melalui air. Infeksi bakteri dan parasit tidak terjadi pada hewan darat melalui perantara udara, namun pada ikan sering terjadi melalui air. Pada budidaya, air tidak hanya sebagai tempat hidup bagi ikan, tapi juga sebagai perantara bagi patogen.

Istilah penting penyakit infeksi pada ikan
Istilah penting yang seringkali digunakan dalam penyakit infeksi ikan adalah sebagai berikut :

  • Epidemiologi : ilmu yang mempelajari hubungan berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi dan penyebaran penyakit pada suatu komunitas.
  • Penyebaran vertikal : penyebaran penyakit dari suatu generasi ke generasi selanjutnya melalui telur.
  • Penyebaran horisontal : penyebaran penyakit dari ikan satu ke ikan yang lain pada kelompok ikan dan waktu yang sama.
  • Carrier : hewan yang membawa organisme penyebab penyakit dalam tubuhnya, namun hewan tersebut terlihat sehat sehingga menjadi pembawa atau penyebar infeksi.
  • Vektor : hewan yang menjadi perantara organisme penyebab penyakit dari inang yang satu ke inang yang lain.
    Contoh : siput, burung.
  • Patogenisitas : kemampuan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit.
  • Virulensi : derajat patogenisitas suatu mikroorganisme.
  • Kisaran inang : kisaran hewan-hewan yang dapat diinfeksi oleh patogen.

Tabel 2. Patogen pada ikan budidaya air tawar di Indonesia

Spesies Ikan

Virus

Bakteri

Jamur

Parasit

Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Virus Herpes Koi (KHV)

Aeromonas flavobacterium

Achiya Aphanomyces

Trichodina , Ichthyophthirius, Chilodonella, Myxobolus, Argulus, Lemaea, Dactylogyrus, Gyrodactylus, Cestoda, Digenetik, Glochidium

Ikan Nila (Oreochromis sp)


Streptococcus flavobacterium

Achiya

Trichodina ,Chilodonella, Dactylogyrus, Gyrodactylus

Ikan Patin (Pangasius sp)


Edwardsiella flavobacterium

Achiya

Trichodina, Oodium, Ichthyophthirius, Argulus, Dactylogyrus

Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata)


Streptococcus

Achiya

Trichodina , Lemaea, Dactylogyrus

Ikan Botia (Botia macrac anthus)


Flavobacterium


Trichodina , Ichthyophthirius, Oodinium

Prosedur diagnosa di lapangan

  1. Pengukuran panjang dan berat ikan.
  2. Pengamatan tanda-tanda luar pada permukaan tubuh dan insang.
  3. Gunting lembaran insang dan ambil lendir tubuh untuk mendeteksi parasit di bawah mikroskop.
  4. Ambil contoh darah dari sirip dada menggunakan jarum suntik untuk pembuatan
    preparat apusan darah dengan menggunakan pewarnaan Giemsa.
  5. Isolasi jamur dengan menggunakan agar GY jika diduga terjadi infeksi jamur. vi. Isolasi bakteri dari sirip atau insang dengan menggunakan agar cytophaga, jika diamati adanya insang atau sirip yang membusuk.
  6. Isolasi bakteri dari luka dengan menggunakan agar TS atau BHI, jika ikan memiliki borok atau ada pembengkakan pada permukaan tubuh.
  7. Bedah ikan dengan peralatan bedah yang bersih untuk membuka rongga perut dan amati tanda-tanda internal.
  8. Isolasi bakteri dari hati, ginjal dan limpa dengan menggunakan agar TS atau BHI. x. Pembuatan preparat limpa pada kaca preparat dengan pewarnaan Giemsa untuk mendeteksi infeksi bakteri.
  9. Fiksasi setiap organ dengan larutan formalin 10°I° berpenyangga fosfat- untuk histopatologi dan dalam etanol 70% untuk uji PCR.

Pekerjaan di laboratorium
Pekerjaan yang paling penting bagi ahli penyakit adalah mendiagnosa penyakit. Jika diagnosanya salah, maka penanganannya juga akan salah. Bila terlalu lama untuk mendiagnosa penyakit, ikan mati sebelum pengobatan dilakukan, diagnosa harus tepat dan cepat. Prosedur diagnosa adalah sebagai berikut :
pertama, coba isolasi patogen dari ikan yang sakit (kecuali untuk infeksi oleh virus); kedua, patogen yang diisolasi diinfeksikan ke ikan yang sehat. Bila diduga virus, larutan yang sudah disaring dengan menggunakan saringan 0,45 µm homogen, diinfeksikan ke ikan yang sehat. Jika ikan yang sekarat (moribund) dengan gejala seperti ikan yang sakit tersebut, hal ini membuktikan bahwa yang diisolasikan tersebut merupakan penyebab penyakit. Dengan demikian, penyebab penyakit teridentifikasi sebagai spesies yang sama dengan patogen sebelumnya. Diagnosa penyakit ikan dapat menjadi lengkap dengan adanya identifikasi penyebab penyakit. Metode pemeriksaan untuk konfirmasi diagnosa berbeda untuk setiap jenis patogen, virus, bakteri, jamur dan parasit.

Tindakan penanganan

  • Penyakit viral : jika ikan terinfeksi oleh virus sangatlah sulit untuk diobati. Ada dua cara tindakan pencegahan yaitu membersihkan virus penyebab penyakit dari lingkungan clan meningkatkan kekebalan ikan terhadap viral. Tindakan pencegahan pertama, desinfeksi semua wadah clan peralatan, seleksi incluk clan telur bebas virus. Tindakan selanjutnya bila memungkinkan adalah meningkatkan kualitas telur, penggunaan vaksin clan immunostimulan atau vitamin. Diantara tindakan penanganan yang ada, vaksin merupakan tindakan yang paling efektif untuk mencegah penyakit viral. Sampai sekarang, vaksin untuk beberapa penyakit viral telah dikembangkan sebagai komoditas komersial, tapi untuk virus herpes koi belum dilakukan. Di masa yang akan datang, vaksin terhadap virus herpes koi dapat dikembangkan.
  • Penyakit bakterial : penyakit bakterial dapat diobati dengan antibiotika. Namun, penggunaan antibiotika yang tidak tepat menghasilkan efek yang negatif. Itulah sebabnya pemilihan antibiotika yang tepat merupakan pekerjaan yang paling penting untuk masalah infeksi bakteri. Pemilihan antibiotika dilakukan berdasarkan hasil uji sensitivitas obat. Antibiotika dapat mengobati dengan cepat ikan yang terinfeksi dengan bakteri, namun dapat menyebabkan timbulnya bakteri yang resisten terhadap antibiotika. Dari hal tersebut, pengembangan vaksin terhadap setiap penyakit bakterial sangatlah penting.
  • Penyakit jamur : sampai sekarang belum dikembangkan tindakan penanganan untuk infeksi jamur pada hewan air. Jadi pencegahan tindakan yang dapat dilakukan. Spora yang berenang di air untuk menemukan inang menunjukkan sensitivitas terhadap beberapa zat kimia.
  • Penyakit parasitik : pada umumnya ektoparasit dapat ditangani dengan zat kimia. Namun, telur dan sistem memiliki resistensi terhadap zat kimia. Berdasarkan keberadaan parasit, pengobatan kedua harus dilakukan setelah spora atau oncomiracidium menetas. Untuk menentukan jadwal pengobatan untuk setiap parasit, studi siklus hidup parasit sangatlah penting.

Sumber : Yuasa, Kei, dkk. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air Tawar Jambi, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA

MILKFISH FRY


Milkfish Fry (Chanos chanos) = typically 17 days old
Tiger Grouper (Epinephelus Fuscoguttatus) = 7 - 8 CM - fast grower,
very popular !

Competitive prices direct from the supplier !
Minimum order is 500 KG and we only accept prepayment prior to shipment only.

To expedite price quotation, please indicate the destination where you want the fries to be ship to your port destination

Please contact us for information at:

KAWAN ABADI AQUACULTURE
Cell/Text Msg: 62-856-3749619
Fax: 62-362-94647 email sales

WE HAD EXPERIENCED SERVE FOR LOCAL AND ABROAD

Milkfish (Chanos Chanos)

Biology

Milkfish (Chanos chanos) is the only species in the Family Chanidae and is most closely related to carps and catfishes. Milkfish lives in the warm waters along the continental shelves and around islands in the Indo-Pacific.

The adults are pelagic, schooling, migratory, large (to 1.5 m, 20 kg), and mature sexually in 5 years. Spawning takes place near coral reefs during the warms months of the year, and populations near the equator spawn year-round. The pelagic eggs (1.1-1.2 mm in diameter) and larvae (3.5 mm at hatching) stay in the plankton for two weeks. The larvae then migrate onshore and are caught by fine-mesh nets operated along sandy beaches and mangrove areas; these "fry" are 10-17 mm long and used as seedstock in grow-out ponds, pens and cages. Juveniles in the wild live in mangrove areas, coastal lagoons, and even go upriver into lakes; they go back to sea when they get too big for the nursery habitat, or when they are about to mature sexually. Juveniles and adults eat a wide variety of relatively soft and small food items, from microbial mats to detritus, epiphytes, zooplankton, and feeds.

Milkfish farming is a centuries-old industry in Indonesia, the Philippines, and Taiwan. It has been slow to modernize and now faces challenges from competing aquaculture species and the present economic realities. The domestic market is large and the export market may soon expand.


Our company in Bali, Indonesia has developed broodstock and hatchery technology to reduce the rather destructive fry fishery, and to improve yields in milkfish ponds.

Broodstock management


Studies focused on the refinement of broodstock and seed production techniques to improve egg and larval production and eliminate deformities in hatchery-bred fry. Milkfish broodstock fed diets supplemented with vitamin C alone or in combination or in Vitamin E had more spawns, higher egg viability, and higher survival of eggs into normal larvae.

A protocol for the transport of milkfish broodstock has been developed as well. Broodstock survive 10 hours of overland transport in sealed oxygenated plastic bags with chilled (20-24 C) and diluted (28 ppt) sea water. Sexually mature milkfish transported as such go on to spawn as expected.

Seed production

Hatchery techniques are refined continually. Rotifer ingestion and growth and survival of milkfish larvae are higher in black-painted tanks than in tan-painted tanks. A nutritionally balanced and cost-effective formulated diet for milkfish larvae is a combination of rotifers starting day 2 or day 8, and may be used as sole feed starting day 15.

Ways were sought to reduce if not eliminate deformities in hatchery-bred milkfish. Eggs transported at the eyed stage (14-20 hours after spawning) have higher viability and produced 45-day old larvae with lower incidence of deformities than eggs transported at the cleavage, blastula, or gastrula stages. Similarly, the sensitivity of milkfish embryos to mechanical shock varies during development, and the C-shaped eyed stage may be manipulated or transported with minimum risk or injury. Milkfish larvae fed rotifers and Artemia enriched with highly unsaturated fatty acid and Vitamin C had better growth and resistance to salinity stress and lower incidence of deformities.

Farming

Feeds for milkfish fry must contains about 9% lipid (cod liver or coconut oil); growth and survival of fry are higher at lower salinity. For milkfish in semi-intensive ponds, it is more cost efficient to give 24%-protein diet with balanced amino acids at a feeding rate of 4% of body weight daily, but supplemental feeding should not exceed 38 kg/ha-day to maintain good water quality.

However, a feeding rate of 4% may be wasteful and may be reduced to 2%, given that the maintenance ration of juvenile milkfish is equivalent to only 1% of body weight per day, and that feeds make up only 10-25% (detritus 60-70%, natural food 15-20%) of the intake of milkfish in ponds. Milkfish do not feed in the morning when the dissolved oxygen is low, and feeding may be timed at mid-morning once oxygen exceeds 2 ppm.

Techniques are being developed for the nursery rearing of hatchery-bred fry in floating net cages such that the system becomes as efficient as the usual practice in brackishwater ponds.

GROUPER

Full-cycle aquaculture (the use of hatchery-reared fingerlings) of many grouper species is becoming more common throughout Asia. Grouper are cultured at various scales in every country of Southeast Asia – Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Philippines, Taiwan, Thailand and Vietnam. While currently making up only about 10–15 per cent of the total trade, there is an increasing supply of full-cycle, cultured fish. The most importantsource countries are Taiwan, Indonesia and Thailand. Grouper culture is also ongoing in Australia andthe People’s Republic of China, although the industry in these countries will not be discussed here.

Grouper culture is expanding in many areas of Indonesia. While there is no statistical data available on grouper culture in Indonesia, national aquaculture statistics show brackish water and cage culture growing at 8 and 16 per cent, respectively, during the 1990s. The primary areas for grouper grow-out culture in Indonesia are Aceh, north Sumatra (Nias and Sibolga), Riau Islands, Bangka Islands, Lampung, west Java,KarimunjawaIslands(centralJava), Teluk Saleh (west Nusa Tenggara), south Sulawesi, north Sulawesi and southeast Sulawesi. Grouper culture is generally characterised in Indonesia by the use of wild-caught seed and use of trash fish for feed. There is limited use of hatchery-reared seed, although this is growing.
Grouper are primarily grown-out in net cages. There is some limited pond grow-out culture, particularly for small size classes, but a general shortage of land for ponds has been identified (Sadovy 2000).
There has been a good deal of research on hatchery production of grouper. This has been stimulated by thedevelopment of a large number of milkfish hatcheries near the Gondol station and by increased interest from these private hatcheries in Bali and throughout Indonesia to produce grouper seed on a commercial basis. At the Gondol Research Institute for Mariculture on the north coast of Bali, the mass seed production of Cromileptes altivelis has been successful. Broodstock have been able to spawn naturally all year round, although the survival rates of larvae are low at the early stage. There are slow growth rate and disease problems at the grow-out stage.
Some private hatcheries have succeeded in seed production, applying technologies learned from the Gondol station. In addition, humpback grouper seed has been provided from the station to many aquaculture operations in Bali and elsewhere in Indonesia and Southeast Asia for grow-out. The Gondol station has also succeeded in full-cycle culture of E. fuscoguttatus. The spawning period for this species in the hatchery has been found to be very short, only three to four days a month, and not all year round. Survival rates are low due to high levels of cannibalism, although survival rate and growth rate in cages is high. Many of the hatcheries in Bali culture several species of fish in addition to grouper such as sea bass, milkfish and humphead wrasse (Cheilinus undulatus).

Panther Grouper - Cromileptes Altivelis
This species is in the family of Serranidae (sea basses: groupers and
fairy basslets).

Subfamily of Cromileptes

The Panther Grouper is pale greenish brown to whittish brown, with widely-spaced, round, black spots on head. body and on all fins. Few faint blotches scattered on, and overlapping with small black spots on body.
Maturity size is 39 cm or 15.6 inches with a maximum size of 70 cm or 28 inches.
This fish prefer to live close to coral reef areas.

Occurs in Eastern
Indian Ocean. Indo-Australian islands, China Sea, islands of the Philippines,
reefs of the Western coast of Australia, Melanesia.

Tiger Grouper - Epinephelus Fuscoguttatus

This species is in the family of Serranidae (sea basses: groupers and
fairy basslets).
Subfamily of Epinephelinae.
Order of Perciformes (perch-likes).
Class of Actinopterygii (ray-finned fishes)

The Brown Marble Grouper is light yellowish brown with large irregular-shaped dark blotches on the head, back
and sides. The head, body and fins have small dark spots. There is a dark spot on the caudal peduncle
It can reach a maximum size of 120 cm or 48 inches and maximum published weight of 11 kg or 24.2 lbs.
This marine fish prefer to live close to reef-associated surrounding with a depth range of 1 - 60 meters or 2.2-132 feet. The fish tolerate tropical water ranging from 35 degree North to 35 degree South from the Equator.

Minor commercial use in fisheries as well as commercial aquaculture. The smaller sizes are for uses in the aquarium trade. It can double in size in 1.4-4.4 years.Occurs in the Indo Pacific from the Red Sea, along the east coast of Africa to Mozambique, east to Samoa and the Phoenix Islands, north to Japan and south to Australia.































Senin, 05 Januari 2009

Jumat, 02 Januari 2009

Delivery mouse grouper system


TRANSPORTASI BENIH IKAN KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis HASIL PEMBENIHAN DI BALI

Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol PO Box 140, Singaraja 81101, Bali.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kepadatan optimal pada

transportasi benih ikan kerapu bebek dengan lama watu dan ukuran benih serta sistem transportasi yang berbeda. Benih ikan kerapu bebek yang dipakai sebagai hewan uji berukuran panjang total 4-8 cm. Wadah digunakan kantong plastik ukuran 30 x 50 cm yang  diisi 2 liter air laut dan ukuran 35 x 60 cm yang diisi 3 liter air laut. Ratio antara air dan gas oksigen adalah 1 : 3. Perlakuan kepadatan benih perkantong plastik disesuaikan dengan ukuran benih dan lama waktu transportasi. Hasil penelitian menunjukan

bahwa kepadatan maksimal per kantong plastik yang tingkat kelangsungan hidup tinggi (95-99%)untuk ukuran benih 4-5 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 30 ekor dan 25 ekor; pada ukuran benih 5-6 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 25 ekor dan 20 ekor, sedangkan pada ukuran benih 7-8 cm adalah masing-masing 15 dan  12 ekor. Pada transportasi dengan sistem tertutup semuanya
menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi (lebih dari 99%).

ABSTRACT

The experiment was aimed to reveal optimum density of the live humpback grouper seed transportation with different of densities, size of seed, duration and transportation sistem. The total length of seed range from 4 to 8 cm. The plastic bag size 30 x 50 cm filled with 2 liter seawater
size 30 x 50 cm filled with 2 liter seawater and size of 35 x 60 cm filled with 4 liter seawater and the ratio of water and oxygen was 1: 3. The treatments of stock density of seed is depended of size of seed and transport durations. The results showed that the optimal densities per plastic for seed with total length 4-5 cm and duration 12 hours
and 22 hours are 25 and 30 per bag repectively; on seed with total length 5-6 cm with duration 12 and 22 h are 25 and 20  fish per bag  respectively and on 7-8 cm total length 15 and 12 fish per bag respectively.
Survival rate on transportation with open sitem using truk with fiberglass tank and pure oxigen is very high (more than 99%).



PENDAHULUAN

Ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis  merupakan komoditas ekspor yang bernilai ekonomis tunggi di pasar Asia seperti Hongkong dan Singapura. Saat ini harga ikan kerapu bebek di Denpasar dan Jakarta berkisar antara Rp.300.000-350.000 per kg hidup. Selain itu kerapu bebek mempunyai bentuk yang indah dari kerapu lainnya sehingga waktu kecil bisa dijual sebagai ikan hias dengan harga yang cukup mahal. Pembenihan ikan kerapu bebek sudah diteliti  mulai tahun 1996 (Trijoko et al., 199) dan di tingkat petani hatchery skala rumah tangga (HSRT)mulai tahun 1997, namun baru  berkembang sejak tahun 1999 di HSRT di Bali. Usaha pembenihan ikan kerapu bebek sudah dirintis di berbagai daerah seperti Lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, kep. Seribu, kep. Riau, Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT; namun hanya di Bali yang dapat berkembang baik. Hal ini disebabkan oleh sudah terdapat sekitar 3.000 petani HSRT bandeng yang sekitar sepuluh persennya berusaha memproduksi benih kerapu bebek sebagai usaha sambilan, sehingga setiap bulan selalu ada yang berhasil menghasilkan benih kerapu bebek di Bali.

Keberhasilan transportasi benih akan mendukung pengembangan kegiatan budidaya pembesaran ikan kerapu khususnya dalam mengupayakan keselamatan dan kesehatan benih yang diangkut dari unit perbenihan sampai ke lokasi budidaya/ pembesaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kemampuan daya tahan tubuh serta menganalisis kesehatan benih ikan kerapu bebek yang sedang diangkut pada berbagai kepadatan, selain itu sasaran lebih lanjut adalah untuk menganalisis kemungkinan peningkatan efesiensi biaya transportasi dengan meningkatkan kepadatan pengangkutan dengan memperhatikan faktor kesehatan dan sintasan benih ikan kerapu bebek.

BAHAN DAN METODE

Studi transportasi benih ikan kerapu bebek sistim tertutup dan terbuka dilakukan dengan menggunakan benih hasil produksi petani pembenihan di Bali. Ikan uji berupa benih ikan kerapu bebek dengan panjang total 4 – 5 cm dan
bobot tubuh 3-10 gram. Pada sistem tarnsportasi tertutup benih ikan uji tersebut sebelum dikemas kedalam kantong plastik dipuasakan selama 24 jam. Wadah menggunakan kantong plastik yang berukuran 30 x 50 cm diisi air laut yang telah diaerasi sebanyak 2 liter dan 35 x 60 cm diisi air laut 3 liter.

Kantong plastik yang telah berisi benih kemudian diisi oksigen murni dengan tekanan 100 kg/cm2, ratio antara gas oksigen dan air 3 : 1. Kantong plastik yang berisi benih ikan selanjutnya dimasukan kedalam box  streofoam, dan didinginkan dengan menambahkan es batu sebanyak 0,5 kg per box. Parameter yang diamati dalam kegiatan ini adalah kelangsungan hidup, dan kualitas air media pada saat berangkat dan sampai tujuan yang meliputi oksigen terlarut, pH, suhu, salinitas, ammonia dan karbon dioksida dilakukan secara simulasi transportasi. Pada pengangkutan dengan sistem tertutup menggunakan kendaraan berupa truk yang dilengkapi dengan 2 buah bak fiber glass volume masing-masing 2 m3 yang dilengkapi dengan aersi dengan oksigen murni. Kecepatan aerasi oksigen murni diatur sedemikian sehingga 1 tabung dapat digunakan selama 6-8 jam. Selama perjalanan dilakukan penggantian air sebanyak 70-80% setiap 6-8 jam sekali.


 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data kelangsungan hidup benih kerapu bebek pada transportasi sistem tertutup secara rinci disajikan pada Tabel 1.

Kelangsungan
Hidup Benih Kerapu pada Transportasi Sistem Tertutup

Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada transportasi sistem tertutup untuk benih ukuran 4 – 5 cm kepadatan yang optimum dengan kantong ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam adalah 30 ekor per kantong dengan kelangsungan hidup (SR) 95-99%; sedang selama 22 jam adalah 25 ekor per kantong (97-99%). Untuk benih ukuran 5 – 6 cm kepadatan yang optimum dengan kantong ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam adalah 25 ekor per kantong dengan kelangsungan hidup (SR) 98-99%; sedang selama 22 jam adalah 20 ekor per kantong (96-99%). Untuk benih ukuran 6–7 cm  dan 7-8 cm sering mengalami kendala kantong plastik yang bocor dan kempes karena tertusuk tulang  sirip punggung. Pada transportasi selama 12 jam kendala palstik kempes masih tidak terlalu fatal, terutama pada transportasi darat walaupun plasti kempes benih masih dapat tertolong oleh goncangan yang mempercepat difusi oksigen.

Tabel
1. Kepadatan,ukuran ikan. lama pengangkutan dan persen sintasan dalam
transportasi  benih ikan kerapu bebek dengan sistem tertutup dari
Bali ke perbagai kota tujuan



Ukuran panjang total benih

(cm)

Ukuran
kantong

(cm)/ volume
air (liter)


Kepadatan
benih per kantong

(ekor)

Lama
transportasi (jam)


Kota

tujuan


Alat

angkut

Sintasan

(%)

Keterangan

(ada/tidak 
kantong


 

plastik yang
kempes


1

2

3

4

5


 

6

7

8

4,0-5,0

30 / 2

30

12

Jakarta

Pesawat

93-95

Tidak

4,0-5,0

30 / 2

25

12

Jakarta

Pesawat

98-99

Tidak

4,0-4,5

30 / 2

30

22

Bengkulu

Pesawat

90-93

Tidak

4,0-5,0

30 / 2

25

22

Bengkulu

Pesawat

97-98

Tidak

5,0-6,0

30 / 2

20

12

Jakarta

Pesawat

98-99

Tidak

5,0-6,0

30 / 2

17

12

Bengkulu

Pesawat

98-99

Tidak

5,0-6,0

30 / 2

20

12

U.Pandang

Pesawat

98-99

Tidak

6,0-7,0

30 / 2

15

12

Bengkulu

Pesawat

92-93

ada

6,0-7,0

30 / 2

20

12

Jakarta

Pesawat

92-93

ada

6,0-7,0

30 / 2

25

12

Lombok

Darat

98-99

ada

6,0-7,0

35 / 4

35

12

Lombok

Darat

97-99

ada

7,0-8,0

30 / 2

25

12

Lombok

Darat

92-93

ada


        

7,0-8,0

35 / 4

25

12

Lombok

Darat

98-99

ada

5,0-6,0

30 / 2

15

18

Batam

Pesawat

98-99

Tidak

4,0-4,5

30 / 2

20

18

Batam

Pesawat

98-99

Tidak

7,0-8,0

30 / 2

15

12

Lombok

Darat

98-99

ada


 

Kelangsungan
Hidup Benih Kerapu pada Transportasi Sistem Terbuka

Pada transportasi terbuka semua pelakuan menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi (>99%).  Hal ini karena kodisi kualitas air relatif stabil terutama kadar oksigen dan amoniak terlarut  oleh pemberian aerasi oksigen murni dan penggantin 70-80% air laut setiap 6-8 jam (Tabel 2).

Tabel 2. 
Kepadatan,ukuran ikan. lama pengangkutan dan persen sintasan dalam   
transportasi  benih ikan kerapu  bebek dengan sistem terbuka
dari Bali ke perbagai kota tujuan



Ukuran panjang total benih

(cm)

Volume

Bak (m3)

Alat
angkut

Jumlah
benih yang diangkut

(ekor)

Lama
transportasi (jam)

Tujuan

Frekuensi
Penggan

tian air
(kali)

Kelang

sungan hidup


 

benih


 

(%)

5,0-6,0

4,0

Truk

6.000

15,0

Lombok

1,0

100,0

10,0-12,0

2,0

Truk

2.000

15,0

Lombok

1,0

100,0

12,0-19,0

2,0

Truk

900

15,0

Lombok

1,0

100,0

5,0-7,0

4,0

Truk

4.000

15,0

Lombok

1,0

100,0

15,0-17,0

4,0

Truk

2.000

72,0

Larantuka

6,0

99,5

8,0-9,0

4,0

Truk

6.000

48,0

Lampung

4,0

99,5

6,0-7,0

4,0

Truk

4.000

60,0

Lb.Bajo

4,0

99,5

8,0-9,0

4,0

Truk

4.000

24,0

Dompu

2,0

99,5


 

Keberhasilan transportasi ikan hidup selalu dipengaruhi sifat fisiologi ikan sendiri, ukuran ikan, kebugaran/mutu ikan menjelang transportasi, mutu air selama transportasi (suhu media DO, pH, CO2. dan ammonia), kepadatan ikan dalam wadah, teknik mobilitasi dengan menggunakan suhu rendah atau bahan kimia serta metabolit alam dan lama penggangkutan (Suryaningrum et al., 2001; Pipet et. al 1982; Basyarie, 1990; Subangsinghe, 1972; Prorent, 1990; Frose. R. 1997). Pada kenyataan dalam melakukan kegiatan transportasi ikan hidup selalu terjadi kompetisi penggunaan ruang dan pemanfaatan oksigen yang tersedia. Pengangkutan dengan sistim tertutup menggunakan kantong plastik, nilai oksigen merupakan parameter penentu pada transportasi ikan hidup ( Berka, 1986).

Peningkatan kepadatan menyebabkan penurunan mutu air selama transportasi. Hal ini terlihat dari kondisi visual air selama pengangkutan air media agak keruh, berlendir dan Respon ikan terhadap perubahan lingkungan suhu,oksigen terlarut, serta peningkatan metabolik ikan ditunjukkan oleh perubahan warna (Utomo dalam Suryaningrum,  2000). Pada kondisi stress, ikan berubah menjadi pucat, warna menjadi keputihan dan pola warna hilang. Jika ikan mudah
dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya pola warna tersebut dengan cepat akan normal kembali.

Pada dasarnya keberhasilan kegiatan pengangkutan benih ikan kerapu bebek tidak terlepas kaitannya dari cara penanganan benih ikan sejak sebelum dikemas hingga sampai tempat tujuan, tetapi yang lebih penting lagi dari semuanya itu adalah cara mempertahankan agar kualitas fisiko-kimia air media selama pengangkutan agar lebih stabil sehingga diharapkan dapat mendukung dan menjaga kesehatan benih yang sedang diangkut.

Hasil konsumsi oksigen sangat dipengaruhi oleh faktor kepadatan sehingga dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan faktor kepadatan mempunyai korelasi positif terhadap tingkat pemanfaatan oksigen, artinya semakin
tinggi kepadatan tingkat konsumsi oksigen akan menjadi lebih tinggi demikian sebaliknya.

Kelarutan oksigen pada saat pengepakan yaitu 6,2 mgO2,/liter, selanjutnya pada adalah 3-4 mgO2/liter, berpengaruh terhadap aktivitas fisiologi ikan. Menurut Rammerswaal (1993) kelarutan oksigen yang rendah didalam air akan menyebabkan warna ikan menjadi pucat, aktivitas ikan lamban, kadang-kadang ikan naik kepermukaan. Lebih lanjut Utomo dalam. Suryaningrum et al. (2000) dalam penelitianya menyatakan bahwa kelarutan oksigen sebesar 3,47 mg O2/liter menyebabkan ikan gelisah, warna menjadi pucat, aktifitas lamban.

Kandungan amonia setelah transportasi meningkat dengan meningkatnya kepadatan. Kandungan amonia pada akhir transportasi berkisar 8-11 mg/liter, namun kandungan NH3 amonia tersebut belum bersifat racun atau mematikan ikan terlihat dari sintasa ikan masih tinggi. Hal ini karena ammonia yang dianalisa dalam bentuk amonium (NH4+), sehingga daya racun tidak begiru kuat. Meningkatnya kandungan amonia dalam air ini dapat berasal dari hasil metabolisme pemecahan protein menjadi amonia oleh bakteri (Remmarswaal, 1993). Tingginya kandungan amonia dalam air menyebabkan pengeluaran amonia dalam darah dan jaringan tinggi. Hal ini menyebabkan pH dalam darah naik. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen oleh ikan, sementara kelarutan oksigen dalam media semakin menurun, sehingga akhirnya menyebkan kematian ikan.

KESIMPULAN

  1. Kepadatan maksimal
    per kantong plastik yang masih menghasilkan kelangsungan hidup tinggi
    (95-99%) untuk ukuran benih 4--5 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam
    adalah masing-masing 30 ekor dan 25 ekor; pada ukuran benih 5-6 cm pada
    lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 25 ekor dan 20 ekor,
    sedangkan pada ukuran benih 7-8 cm adalah masing-masing 15 dan 
    12 ekor.

  1. Pada transportasi
    dengan sistem tertutup semuanya menghasilkan kelangsungan hidup yang
    sangat tinggi.(lebih dari 99%).


DAFTAR
PUSTAKA
.


 

Basyarie.
A (1990). Transportasi Ikan Hidup. Traning Penangkapan Aklimatisasi
dan Peyimpanan Ikan Hias Laut. Jakarta 4 - 18 Desember 1990.

Berka.
R. 1986. The transport of live fish EIFAC Tech. Pap. No. 48. p.52Froces.
R 1997. How to Transport live Fish in Plastic Bags. FAO. Technical Paper.
Roma.Piper.
G.R, IBMc. Elwain, L.E. Ormen, J.P.Mc. Caren, L.G. Fowler and I.R. Leonard.
1982. Hatchery Management. Washington DC, US. Report of Interior, Fish Proseno,
D 1990. Cara Transportasi Ikan Dalam Keadaan Kidup. Makalah disajikan
pada Acara Temu Penelitian , Paket Teknologi 29 – 31 Oktober 1990.Rammerwaal
. 1993 Recirculating Aquaculture System. Info fish international 2 p 39 – 193 Subangsing.
S 1997. Live Handling and Transpotation. Infofish International 2p. 39 – 43

Sugama,
K., Wardoyo, Rohaniawan, dan Masuda, H. 1998. Tenologi Pembenihan Ikan
Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). Dalam Proseding Seminar
Teknologi Perikanan Pantai Bali, 8-7 Agustus 1998. Loka Penelitian Perikanan
Pantai Gondol – JICA (ATA-379) p 80 – 88.

Suryaningrum,
T.D., Abdul Sari dan Ninoek Indiarti (2000). Pengaruh Kapasitas Angkut
Terhadap Sintasan dan Kondosi Ikan pada Transportasi Kerapu Hidup Sistim
Basah. Dalam Proseding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan Jakarta.
P; 259-268.

Tridjoko,
Slamet, B, Makatutu ,D dan Sugama,K. 1996. Pengamatan Pemijahan dan
Perkembangan Telur Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
secara Terkontrol. Jurnal. Penelitian Perikanan Indonesia. 2 (2) : 55-62.

Wibowo, S, Utomo, B S.V. and Suryaningrum, T.D. 1987. Kajian Sifat Fisiologi
Ikan Sebagai Dasar Dalam Pengembangan Transportasi Ikan Kerapu Lumpur
(Epinephelus tauvina) Hidup untuk Eksport. Makalah disampaikan
sebagai penelitian unggulan Puslitbang Perikanan.